Selama sebulan lebih ini, perjalanan menyusuri metropolitan yaitu rute yang aku lewati ke kantor dari rumah di daerah S di luar DKI hingga daerah M di selatan ibukota nampak lebih "meriah".
Meriah dengan pajangan kain melintang berbahan baku vinyl atau PVC yang dengan egois memperkosa tempat-tempat kosong di ruang publik. Berjejeran di sepanjang trotoar, ditempel atau digantungkan, sekenanya. Tidak ada harmonisasi tata ruang kota di situ.
Ragam tulisan dan gambar mengisi spanduk-spanduk yang bertebaran bak jamur di musim hujan. Yah, yang ini juga musiman namun disebut dengan musim kampanye lima tahunan. Dengar-dengar ini kampanye serentak yang pertama di alam demokrasi di negara tercinta ini.
Gambarnya adalah foto murah senyum yang pastinya cakep (dicakepin) milik sang kandidat, mau itu calon wakil rakyat hingga calon yang akan memimpin negara. Dicetak dengan halus dan cukup tebal agar tahan cuaca di luar yang kadang hujan dan kadang masih panas terik.
Semua isi tulisannya "memuji" dan obral "janji manis" dengan ajakan buat dukung dia.
Tidak ada kejelasan apalagi kepatutan siapa sang kandidat tersebut "sesungguhnya". Semuanya (merasa) bisa atau hebat dan layak di"coblos". Dari gambar dan tulisan tersebut, kita hanya disuguhkan, dipertontonkan, dan coba diyakinkan untuk mem"bela"nya. Dari yang memang sudah terkenal hingga yang sama sekali tidak dikenal, semuanya "pede" menjajakan dirinya lewat kain-kain licin tersebut.
Hari itu, aku berjalan kaki melintasi parade baliho. Aku berjalan mulai dari stasiun yang katanya paling modern di Jakarta, menyusuri trotoar menuju kantor di belakang Pasar Raya milik salah seorang menteri jaman setelah orde lama yang pernah melegenda namun sekarang sudah bangkrut (katanya). Pada satu warteg yang tak jauh dari stasiun, kutahan langkah untuk mengisi perut yang sejak tadi belum sempat sarapan. Cukup ramai di situ, mungkin karena menu yang tersedia cukup banyak dan tentunya cukup murah buat banyak kalangan.
Di sana, ada seorang yang kelihatannya hampir menyelesaikan makannya, sejenak minum dan nyeletuk ke rekan di sebelahnya sambil nunjuk ke spanduk yang terpasang tepat di depan warung makan. "Itu kemarin di TV, bapak itu bilang mau kasih makan gratis ke kita-kita, asik nih kita gak akan repot cari makan".
"Wah kalau saya lebih seneng program yang BBM gratis, kan kita bisa enak nih nge-ojolnya", balas rekan di sebelahnya tersebut sambil nyengir. Dari jaketnya ternyata mereka ini adalah abang ojek online. Di depan mereka, ada yang menimpali, "ada juga Bang yang nawarin internet gratis, penting nih...", dan mereka manggut-manggut nampak tertarik juga dengan janji yang satu ini.
Memang, sang calon atau kandidat siapapun sah-sah saja menjanjikan apapun, apalagi ini memang masanya berpromosi. Namun dari yang terpampang di ruang-ruang kota tersebut kita nyaris tidak dikasih kesempatan untuk tahu lebih banyak apa benar mereka-mereka yang terhormat ini mudah merealisasikannya. Jangan-jangan hanya sekedar janji tanpa hitung-hitungan matang demi elektoral semata.
Sehabis makan tuntas, lanjut aku bergegas kembali.
Setelah beberapa puluh meter, kemudian terhenti jalanku di persimpangan jalan, terdengar
"Bu, itu gambar siapa yah?" Si kecil bertanya ke ibunya yang sedang menengadahkan tangannya ke mobil-mobil yang sedang terhenti di lampu merah.
"Wah, ibuk ya gak tahu juga siapa itu...", jawab si ibu. "Sudah, kamu bantuin ibu saja kelilingi mobil sebelah sana...", lanjutnya.
Setelah kendaraan bisa melaju kembali dan sekembalinya mereka ke pinggir trotoar si Ibu tadi berujar lagi. "Yang di pojokan itu, yang gambarnya paling gede, bilang bahwa nanti sekolah gratis. Wah, kamu bisa sekolah lagi kalau dia kepilih nanti.", ujar si Ibu sambil membelai rambut di dahi si kecil. Si kecil pun manggut-manggut dengan kosong menatap.
Penasaran dibuatnya, aku cari tau di mesin pencari siapa ini orang. Dari teknik googling aku bisa dapetin data yang kredibel untuk cari tau. Walau tidak 100% benar namun bisa dibilang paling valid di antara informasi lainnya di hasil pencarian yang didapat. Wow, ternyata beliau yang berpose senyum di pojokan menurut si Ibu tadi adalah anggota dewan yang terhormat, sudah tiga kali dia duduk di kursi-nya itu dan ... sempat ada di komisi yang membidangi pendidikan. Loh... 3 periode menjabat kok sekolah gak kunjung gratis, dan sekarang minta mandat lagi pula... "bujug, muke tebel nih orang", gumamku.
Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mana adalah melayani pendidikan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya, menyiapkan dan mensejahterakan para pengajar/guru. Selain itu, memfasilitasi sarana belajar mengajar lebih-lebih kebutuhan kontemporer sekarang ini adalah belajar secara daring atau online yang mudah dan terjangkau masyarakat luas, tidak pandang bulu siapapun dia dan dari manapun dia adalah janji negara ini saat berdiri kepada warga dan bangsanya. Jadi siapapun yang di "sana" wajib hukumnya tunaikan janji tersebut.
"Ah sudahlah... Mereka lebih paham kok!?"
Segera beringsut berjalan kaki, saking kesalnya aku tendang salah satu papan bambu di trotoar yang menghalangi langkah cepatku, sampai-sampai spanduk yang tergantung di papan bambu tersebut nyaris jatuh ke bawah.
“Maap-maap, (ga) sengaja…”
Tulisan Miring (Turing)
12 Januari 2024